LintasOheo com | Konut- Aktivis Vokal asal Konawe Utara, Hendrik, kembali menggemparkan publik dengan kritik kerasnya terhadap 79 perusahaan tambang nikel di wilayah tersebut. Dalam konferensi pers hari ini, ia menuduh seluruh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel melanggar Pasal 124 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang mewajibkan penggunaan jasa pertambangan lokal dan nasional.
“Pasal itu jelas: Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan Jasa Pertambangan lokal dan/atau nasional. Tapi sejak aturan itu berlaku, tidak satu pun dari 79 perusahaan ini yang menjalankannya,” tegas Hendrik, yang dikenal luas karena perjuangannya yang bahkan membawanya ke balik jeruji besi.
Hendrik menyebut bahwa berdasarkan data DPM-PTSP Sultra tahun 2020, 79 IUP nikel aktif di Konawe Utara. Namun, perusahaan lokal justru menjadi penonton di tanah sendiri, tanpa mendapat peluang nyata untuk terlibat dalam rantai industri tambang.

“Ini bukan sekadar soal bisnis. Ini soal keadilan. Kami dirampas haknya, lingkungan kami rusak, tapi saat kami menuntut hak, yang kami terima adalah intimidasi, kriminalisasi, bahkan penjara,” ujarnya penuh emosi.
Ia juga menyinggung dampak buruk aktivitas tambang terhadap masyarakat sekitar: kerusakan lahan pertanian, pencemaran sumber air, hingga hilangnya mata pencaharian tradisional.

Aktivis yang namanya tak asing dalam perjuangan agraria dan lingkungan ini menutup pernyataannya dengan menyerukan penegakan hukum yang adil sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3.
“Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bukan segelintir korporasi,” pungkasnya.