Pelanggaran PT SBP: Alarm Keras Krisis Integritas Penegakan Hukum Pertambangan

oleh

Lintasoheo.com | Konut –
Kasus operasional PT Sumber Bumi Putera (SBP) di Konawe Utara yang beroperasi tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) membuka babak baru dalam diskursus serius mengenai krisis integritas penegakan hukum di sektor pertambangan Indonesia. Peristiwa ini tidak bisa dipandang sebagai pelanggaran administratif semata, melainkan cerminan rapuhnya tata kelola dan akuntabilitas negara dalam mengelola sumber daya alam.

Lemahnya Pengawasan dan Sanksi

Fakta bahwa PT SBP masih beroperasi bahkan setelah Izin Usaha Pertambangan (IUP) dikabarkan dicabut menimbulkan pertanyaan mendasar: seberapa efektif sebenarnya pengawasan yang dilakukan? Apakah sanksi yang dijatuhkan benar-benar dirancang untuk menghentikan pelanggaran, atau hanya menjadi “izin berbayar” yang menguntungkan perusahaan?

Menurut ketentuan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, aktivitas pertambangan tanpa IPPKH jelas termasuk pelanggaran serius yang dapat dikenakan sanksi pidana, bukan sekadar teguran administratif.

BACA JUGA:  Puskesmas Wanggudu Raya Matangkan Persiapkan Diri Dalam Hadapi Penyusunan Dokumen Akreditasi

Celah dalam Sistem Perizinan

Indikasi pembiaran oleh Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tenggara memperlihatkan lemahnya koordinasi antarinstansi. Ketika pejabat yang seharusnya menjaga aturan justru bersikap pasif, pelanggaran berpotensi dianggap normal. Modus berpindah lokasi tambang untuk menghindari pemeriksaan memperkuat dugaan adanya pola sistematis, bukan kesalahan administratif biasa.

Dampak Lingkungan dan Sosial

Kerusakan akibat tambang ilegal seperti ini tidak hanya berarti hilangnya kekayaan sumber daya alam, tetapi juga mengancam ekosistem hutan yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan. Hutan yang rusak meningkatkan risiko banjir, longsor, dan krisis air bersih. Di sisi lain, masyarakat lokal menanggung dampak langsung: lahan rusak, jalan umum hancur, dan mata pencaharian tradisional seperti pertanian dan perikanan terganggu.

Krisis Kepercayaan Publik

Dalam konteks ini, tuntutan publik agar pemerintah bertindak tegas dan transparan bukan sekadar harapan moral, melainkan keharusan. Jika pemerintah terus membiarkan pelanggaran seperti ini, kerusakan lingkungan akan semakin parah dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum dan negara.

BACA JUGA:  Sekretariat DPRD Ikuti Devile Pembukaan Porseni Tingkat SKPD Pemkab Konut

Jalan Keluar: Tindakan Konkret

Oleh karena itu, pemerintah tidak cukup hanya dengan pernyataan resmi. Langkah konkret harus segera diambil:

1. Menghentikan seluruh aktivitas PT SBP di lapangan.

2. Mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam praktik pembiaran, termasuk oknum pejabat terkait.

3. Mereformasi sistem pengawasan agar lebih transparan dan partisipatif, melibatkan masyarakat sipil dan media.

4. Memastikan penegakan hukum pidana, bukan hanya administratif, terhadap pelanggaran serius yang merusak lingkungan.

Kasus PT SBP adalah alarm keras yang memperlihatkan betapa rentannya pengelolaan sumber daya alam Indonesia dari praktik korupsi, pembiaran, dan lemahnya pengawasan. Namun, dari krisis ini juga terbuka peluang bagi pemerintah untuk membuktikan komitmennya: menjaga lingkungan, menegakkan hukum dengan adil, dan memulihkan kepercayaan publik.

Penulis:
Muhammad Ikbal Laribae
Direktur Eksekutif GMA Sultra