Seleksi PPPK Paruh Waktu Konut Diduga Cacat Prosedur dan Bermuatan Politik

oleh

LintasOheo.Com | Konut – Pengumuman hasil seleksi PPPK Paruh Waktu di Kabupaten Konawe Utara yang semestinya memberi harapan, justru menimbulkan polemik dan kekecewaan. Proses yang diharapkan adil malah menyisakan pertanyaan besar soal integritas dan transparansi.

Banyak honorer yang telah mengabdi puluhan tahun dengan nilai kompetensi tinggi justru gagal, sementara ada nama yang tak ikut tes tahap 1 dan 2 tiba-tiba muncul di pengumuman. Fenomena ini jelas mencederai prinsip merit system.

Sesuai regulasi, prioritas kelulusan mestinya untuk R3 dan R2 (honorer yang sudah terdata resmi di BKN). Namun yang muncul justru R4. Lebih ironis, ada peserta dengan nilai di atas 400 tidak diluluskan, sementara yang hanya 200-an justru lulus. Fakta ini memperlihatkan ketidakadilan sekaligus dugaan maladministrasi.

Sekretaris Partai Gerindra Kabupaten Konawe Utara. Ashari mengatakan nahwa, Proses rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Konawe Utara (Konut) diduga sarat dengan praktik permainan. Dengan kuota terbatas yang diberikan oleh Kementerian PAN-RB, sejumlah Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) disebut-sebut merekrut Pegawai Harian Lepas (PHL) yang notabene masih memiliki hubungan keluarga.

BACA JUGA:  BPBD Konawe Utara Bangun Rakit Gratis di Desa Sambandete, Hadapi Penolakan dari Warga

Padahal, sebelum pengumuman kelulusan PPPK tersebut, Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Konawe Utara telah mengeluarkan aturan tegas. Dalam pengumuman itu disebutkan bahwa setiap PHL yang memiliki SK di OPD wajib menyetor kartu peserta tes atau nomor ujian. Peringatan tersebut menegaskan, bagi yang tidak menyetor dianggap mengundurkan diri dari proses seleksi.

Namun, aturan tersebut dinilai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dugaan praktik pilih kasih dalam rekrutmen PPPK semakin menguat, karena banyak PHL non-keluarga pejabat justru tereliminasi, sementara mereka yang memiliki kedekatan atau hubungan kekeluargaan dengan Kepala OPD lebih diprioritaskan.

Lanjut kata Dia, Ashari. Bahkan beredar informasi bahwa ada honorer yang digugurkan karena pilihan politik berbeda pada Pilkada lalu. Jika benar, ini bukan sekadar cacat prosedural, melainkan cacat moral—birokrasi dijadikan alat balas dendam politik.

Situasi ini merugikan honorer, pilar pelayanan publik yang selama ini bekerja tanpa kepastian status. Ketidakadilan rekrutmen akan mengikis semangat pengabdian sekaligus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.

BACA JUGA:  PT Bumi Sentosa Jaya( PT BSJ) Memberikan Bantuan sapi Kurban di 2 Desa

Dari perspektif hukum, praktik ini berpotensi melanggar asas merit system ASN, masuk ranah maladministrasi, bahkan bisa dikategorikan tindak pidana bila terbukti ada transaksi titipan. Dari sisi HAM, diskriminasi jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak atas pekerjaan.

Lebih lanjut Ahari menegaskan, ada beberapa langkah mendesak yang harus ditempuh:

1. Audit independen terhadap seluruh proses seleksi.

2. Publikasi terbuka nilai dan peringkat peserta.

3. Evaluasi ulang hasil pengumuman.

4. Pengawasan ketat dari Ombudsman RI dan Komisi ASN.

Untuk jangka panjang, Pemda Konawe Utara wajib melakukan reformasi sistemik: membangun database honorer yang valid, transparan, serta memastikan rekrutmen bebas intervensi politik.

“Kami mendesak Sekda dan BKD Konawe Utara memberi klarifikasi resmi, membuka data secara jujur, serta mengoreksi hasil yang cacat prosedur. Honorer bukan tenaga tambahan semata, melainkan penopang utama jalannya pemerintahan. Mengabaikan mereka sama dengan meruntuhkan sendi-sendi negara,”tutup Ashari.